Rabu, 19 Mei 2010

Ironi Negara Kaya

Indonesia memiliki segudang potensi sumber daya alam yang bisa dipergunakan untuk peningkatan kesejahteraan rakyatnya. Misalnya pembangunan di satu sektor seperti pertanian dan kelautan bisa memperkuat kemandirian.

"Indonesia tak sungguh-sungguh membangun sektor pertanian dan kemaritiman. Akibatnya kita tak punya basis budaya (cultural base) bagi modernisasi Indonesia dalam industri dan teknologi. Semuanya tampak kacau atau rancu. Pemerintahan SBY ditantang oleh keadaan untuk menghentikan ketergantungan pada pangan impor. Ini masalah serius," kata ekonom senior M Dawam Rahardjo.

Padahal negara ini dinugerahi kekayaan alam sangat beragam. Menurut World in Figures (dunia dalam angka) yang diterbitkan majalah The Economist, Indonesia adalah negara dengan luas daratan Nomor 15 di dunia. Jumlah penduduk Nomor 4 setelah China, India, dan USA.

Tokoh Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Siswono Yudo Husodo menekankan tidak banyak negara yang memiliki potensi keunggulan seperti Indonesia. Banyak negara yang mampu menjadi sejahtera hanya dengan memanfaatkan secara optimal satu aspek potensi keunggulan saja.

“Namun Indonesia untuk satu hal itu saja kurang berhasil. Pemerintah kita abai memajukan pertanian dan kelautan yang berpihak pada kepentingan rakyat,” kata Siswono Yudo Husodo.

Indonesia adalah penghasil biji-bijian terbesar ke-6 di dunia, penghasil beras ke-3 di dunia setelah China dan India, penghasil teh terbesar ke-6 di dunia, penghasil kopi terbesar ke-4 di dunia, dan penghasil coklat terbesar ke-3 di dunia setelah Pantai Gading dan Ghana.

Juga penghasil terbesar minyak sawit dunia, penghasil karet alam kedua, penghasil cengkeh terbesar, penghasil tembaga ketiga setelah Cili dan AS, penghasil timah kedua dunia, penghasil nikel ke-6, penghasil emas ke-8 dunia, penghasil natural gas keenam, serta penghasil batubara ke-9 dunia.

Tak lupa Siswono mengingatkan bahwa pemerintah seringkali bertindak naif dan bodoh. Buktinya, ketika kekurangan beras, solusinya impor beras, hingga pernah menjadi negara importir beras terbesar di dunia pada 1998-2001.

Begitu juga kekurangan gula, solusinya juga impor, hingga sekarang mengimpor gula 30% dari kebutuhan nasional. Pada waktu kekurangan daging sapi, solusinya impor dan sekarang setiap tahun mendatangkan sekitar 600.000 ekor sapi, yang merupakan 25% dari konsumsi daging sapi nasional.

Kekurangan garam, solusinya juga impor hingga rata-rata 1 juta ton garam/tahun, yang merupakan 50% dari kebutuhan garam nasional. Indonesia juga mengimpor 45% dari kebutuhan kedelai, 10% kebutuhan jagung, 15% kebutuhan kacang tanah dan 70% kebutuhan susu.

Ketergantungan terhadap pangan impor menempatkan Indonesia pada kondisi dilematis. Fluktuasi harga pangan dunia siap menguras devisa lebih besar lagi. Sendi ekonomi bangsa bisa ambruk kapan saja apabila pasokan dari luar terhenti total karena berbagai alasan.

Impor pangan yang terus meningkat, juga memperlemah ketahanan ekonomi bangsa karena devisa yang susah payah diperoleh bukannya digunakan untuk menambah infrastruktur ekonomi dan meningkatkan kualitas SDM, tetapi dibelanjakan untuk hal-hal konsumtif yang sebenarnya dapat diproduksi sendiri.

Data menunjukkan, setiap tahun Indonesia harus mengeluarkan devisa setara Rp 50 triliun untuk membeli komoditas pangan negara lain. Angka itu sekitar 5% dari APBN. Komoditas tersebut meliputi kedelai, gandum, daging sapi, susu, dan gula.

Dana yang harus dikeluarkan untuk impor pangan ini bisa melonjak seiring fenomena kenaikan harga karena sebagian komoditas pertanian yang tadinya hanya digunakan untuk keperluan pangan, seperti jagung, tebu dan CPO juga mulai digunakan secara besar-besaran sebagai energi alternatif, biofuel.

Secara keseluruhan, pemerintah mengabaikan pengembangan potensi pangan lokal dan pemenuhan kebutuhan pangan warga. Akibatnya, Indonesia terjebak dalam arus impor pangan. Masalah yang harus dipecahkan pemerintahan ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar